Senin, 11 April 2011

LAPORAN PRAKTIKUM PENGARUH LINGKUNGAN TERHADAP IKAN

BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
      Keberhasilan suatu organisme untuk bertahan hidup dan bereproduksi mencerminkan keseluruhan toleransinya terhadap seluruh kumpulan variabel lingkungan yang dihadapi organisme tersebut (Campbell. 2004; 288). Artinya bahwa setiap organisme harus mampu menyesuaikan diri terhadap kondisi lingkungannya. Adaptasi tersebut berupa respon morfologi, fisiologis dan tingkah laku. Pada lingkungan perairan, faktor fisik, kimiawi dan biologis berperan dalam pengaturan homeostatis yang diperlukan bagi pertumbuhan dan reproduksi biota perairan (Tunas. 2005;16).
     Suhu merupakan faktor penting dalam ekosistem perairan (Ewusie. 1990; 180). Kenaikan suhu air dapat akan menimbulkan kehidupan ikan dan hewan air lainnya terganggu (Kanisius. 1992; 22). Menurut Soetjipta (1993; 71), Air memiliki beberapa sifat termal yang unik, sehingga perubahan suhu dalam air berjalan lebih lambat dari pada udara. Selanjutnya Soetjipta menambahkan bahwa walaupun suhu kurang mudah berubah di dalam air daripada di udara, namun suhu merupakan faktor pembatas utama, oleh karena itu mahluk akuatik sering memiliki toleransi yang sempit.
     Ikan merupakan hewan ektotermik yang berarti tidak menghasilkan panas tubuh, sehingga suhu tubuhnya tergantung atau menyesuaikan suhu lingkungan sekelilingnya (Hoole et al, dalam Tunas. 2005; 16). Sebagai hewan air, ikan memiliki beberapa mekanisme fisiologis yang tidak dimiliki oleh hewan darat. Perbedaan habitat menyebabkan perkembangan organ-organ ikan disesuaikan dengan kondisi lingkungan (Yushinta. 2004: 14). Secara kesuluruhan ikan lebih toleran terhadap perubahan suhu air, beberapa spesies mampu hidup pada suhu air mencapai 290C, sedangkan jenis lain dapat hidup pada suhu air yang sangat dingin, akan tetapi kisaran toleransi individual terhadap suhu umumnya terbatas(Sukiya. 2005; 9)
     Ikan yang hidup di dalam air yang mempunyai suhu relatif tinggi akan mengalami kenaikan kecepatan respirasi (Kanisius. 1992; 23). Hal tersebut dapat diamati dari perubahan gerakan operculum ikan. Kisaran toleransi suhu antara spesies ikan satu dengan lainnya berbeda, misalnya pada ikan salmonid suhu terendah yang dapat menyebabkan kematian berada tepat diatas titik beku, sedangkan suhu tinggi dapat menyebabkan gangguan fisiologis ikan (Tunas. 2005; 16-17). Telah diketahui diatas bahwa suhu merupakan faktor abiotik yang paling berpengaruh pada lingkungan perairan, maka perlu diketahui bagaimana suhu mempengaruhi aktifitas biologis spesies ikan tertentu melalui gerakan operculum Ikan Mas Komet (Carassius auratus).

1.2 Rumusan Masalah
Adapun Rumusan masalah pada praktikum kali ini adalah:
1. Bagaimana perubahan gerakan operculum Ikan Mas Komet (Carassius auratus) terhadap perubahan suhu air.
2. Bagaimana respon tingkah laku Ikan Mas Komet (Carassius auratus) akibat perubahan suhu air.

1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari praktikum kali ini adalah:
1. Mengetahui perubahan gerakan operculum Ikan Mas Komet (Carassius auratus) terhadap perubahan suhu air.
2. Mengetahui respon tingkah laku Ikan Mas Komet (Carassius auratus) akibat perubahan suhu air.


BAB II
KAJIAN PUSTAKA


2.1 Adaptasi Organisme
      Adaptasi diartikan merupakan kemampuan individu untuk mengatasi keadaan lingkungan dan menggunakan sumber-sumber alam lebih banyak untuk mempertahankan hidupnya dalam relung yang diduduki. Ini bahwa setiap organisme mempunyai sifat adaptasi untuk hidup pada berbagai macam keadaan lingkungan (Djamal. 1992; 58).
        Djamal menambahkan bahwa bahwa ada beberapa jenis adaptasi yakni; adaptasi morfologis, adaptasi fisiologis dan adaptasi tingkah laku.

2.2 Biologi Ikan
      Pisces (Ikan) merupakan superkelas dari subfilum Vertebrata yang memiliki keanekaragaman sangat besar (Sukiya. 2005; 33). Ikan adalah anggota vertebrata poikilotermik (berdarah dingin) yang hidup di air dan bernapas dengan insang. Ikan merupakan kelompok vertebrata yang paling beraneka ragam dengan jumlah spesies lebih dari 27,000 di seluruh dunia (Fujaya,1999 dalam Dhamadi. 2009).
       Secara keseluruhan ikan lebih toleran terhadap perubahan suhu air suhu air, seperti vertebrata poikiloterm lain suhu tubuhnya bersifat ektotermik, artinya suhu tubuh sangat tergantung atas suhu lingkungan (Sukiya.2005;9-10). Selanjutnya Sukiya menambahkan bahwa beberapa ikan mempunyai perilaku istimewa seperti ikan Glodok yang dapat berjalan di atas daratan dan memanjat pohon.

2.3 Fisiologi Respirasi Ikan
      Sebagai biota perairan, Ikan merupakan mendapatkan Oksigen terlarut dalam air. Pada hampir semua Ikan, insang merupakan komponen penting dalam pertukaran gas, insang terbentuk dari lengkungan tulang rawan yang mengeras, dengan beberapa filamen insang di dalamnya (Fujaya. 1999; 103).
Menurut Sukiya (2005; 16), Setiap kali mulut dibuka, maka air dari luar akan masuk menuju farink kemudian keluar lagi melalui melewati celah insang, peristiwa ini melibatkan kartilago sebagai penyokong filamen ikan. Selanjutnya Sukiya menambahkan bahwa lamella insang berupa lempengan tipis yang diselubungi epitel pernafasan menutup jaringan vaskuler dan busur aorta, sehingga karbondioksida darah dapat bertukar dengan oksigen terlarut di dalam air.
     Organ insang pada ikan ditutupi oleh bagian khusus yang berfungsi untuk mengeluarkan air dari insang yang disebut operculum yang membentuk ruang operkulum di sebelah sisi lateral insang (Sugiri. 1984; 1966). Laju gerakan operculum ikan mempunyai korelasi positif terhadap laju respirasi ikan.

2.4 Pengaruh Suhu Air terhadap Ekosistem Perairan
     Salah satu faktor fisik lingkungan perairan adalah suhu. Permukaan air peka terhadap perubahan suhu, perubahan suhu dipengaruhi oleh letak geografisnya, ketinggian tempat, lama paparan terhadap matahari dan kedalaman badan air (Tunas. 2005;16, 18).
      Kenaikan suhu air akan dapat menimbulkan beberapa akibat sebagai berikut (Kanisius. 2005; 22-23):
a. Jumlah oksigen terlarut di dalam air menurun.
b. Kecepatan reaksi kimia meningkat
c. Kehidupan ikan dan hewan air lainnya terganggu.
d. Jika batas suhu yang mematikan terlampaui, ikan dan hewan air lainnya mungkin akan mati.
     Selanjutnya menurut Munro (1978 dalam Tunas 2005; 18), Peningkatan suhu air dapat menyebabkan penurunan kelarutan gas-gas, tetapi meningkatkan solubilitas senyawa-senyawa toksik seperti polutan minyak mentah dan pestisida, serta meningkatkan toksisitas logam berat, sebagai contoh bahwa pada air tawar (salinitas 0%) peningkatan suhu dari 25 menjadi 300C menyebabkan penurunan kelarutan oksigen dari 8,4 menjadi 7,6 mg/liter.

2.5 Pengaruh Suhu Air terhadap Respon Fisiologis dan Tingkah Laku Ikan
     Ikan memiliki derajat toleransi terhadap suhu dengan kisaran tertentu yang sangat berperan bagi pertumbuhan, inkubasi telur, konversi pakan dan resistensi terhadap penyakit (Tunas. 2005;16). Selanjutkan Tunas menambahkan bahwa ikan akan mengalami stres manakala terpapar pada suhu di luar kisaran yang dapat ditoleransi.
     Suhu tinggi tidak selalu berakibat mematikan tetapi dapat menyebabkan gangguan status kesehatan untuk jangka panjang. Misalnya stres yang ditandai tubuh lemah, kurus, dan tingkah laku abnormal, sedangkan suhu rendah mengakibatkan ikan menjadi rentan terhadap infeksi fungi dan bakteri patogen akibat melemahnya sistem imun (Tunas. 2005;16-17). Pada dasarnya suhu rendah memungkinkan air mengandung oksigen lebih tingi, tetapi suhu rendah menyebabkan stres pernafasan pada ikan berupa penurunan laju respirasi dan denyut jantung sehingga dapat berlanjut dengan pingsannya ikan-ikan akibat kekurangan oksigen.
     Penelitihan oleh Kuz’mina et al. (1996 dalam Tunas. 2005) menunjukkan bahwa suhu perairan sangat berpengaruh terhadap laju metabolisme dan proses-proses biologis ikan. Ditunjukkan bahwa aktivitas enzim pencernaan karbohidrase sangat dipengaruhi oleh suhu, aktivitas protease tertinggi dijumpai pada musim panas, adapun aktivitas amilase tertinggi dijumpai pada musim gugur (Hofer, 1979a ; 1979b dalam Tunas. 2005; 18).
      Menurut Kanisius (1992; 23) suhu air yang relatif tinggi dapat ditandai antara lain dengan munculnya ikan-ikan dan hewan air lainnya ke permukaan untuk mencari oksigen.

BAB III
METODE PRAKTIKUM


3.1 Waktu dan Tempat Praktikum
       Praktikum Pengaruh Lingkungan terhadap Ikan kali ini dilaksanakan pada Hari Rabu tanggal 6 April 2011 pukul 10.00 WIB sampai dengan selesai di Laboratorium Ekologi dan Sumber Daya Alam Hayati Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang

3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat-alat
1. Beaker glass 4 buah
2. Thermometer Celcius 4 buah
3. Timer atau Stopwatch 1 buah
4. Water bath 1 buah
5. Akuarium sedang
3.2.2 Bahan-bahan
1. Ikan Mas Komet (Carassius auratus) 8 buah
2. Air secukupnya
3. Es batu
4. Kertas dan alat tulis

3.3 Langkah Kerja
1. Dipanaskan air dalam water bath hingga hangat kukuh.
2. Dimasukkan air kedalam akuarium hingga 1/5 volume akuarium
3. Diukur suhu kontrol awal
4. Dimasukkan ikan yang sebelumnya diletakkan di beaker glas kedalam akuarium.
5. Diamati tingkah laku ikan
6. Dihitung jumlah gerakan operkulum ikan selama 1 menit
7. Diambil ikan dan dimasukkan kembali kedalam beaker glass semula.
8. Ditambahkan air hangat kedalam akuarium sampai suhu air menjadi +5oC dari suhu semula
9. Dimasukkan ikan kedalam akuarium kembali
10. Diamati tingkah laku
11. Dihitung gerakan operkulum ikan selama 1 menit
12. Dilakukan langkah seperti diatas dengan modifikasi perlakuan pada keadaan suhu air yang berbeda yakni +10oC, -5oC, dan -10oC.
13. Dianalisis hasil pengamatan

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1 Hasil Pengamatan
Berikut ini adalah tabel Hasil Pengamatan Pengaruh Suhu Terhadap Gerakan Operkulum Ikan.
No. Suhu Jumlah kali gerakan operkulum dalam 1 menit
                                    ulangan 1 ulangan 2
1 kontrol -10oC 14oC   95            85
2 kontrol -50C 190C     109        100
3 kontrol 240C              102          96
4 kontrol + 50C 310C   140         110
5 kontrol +100C 350C  110         117

Analisis terlampir
Kesimpulan analisis
F hitung (=3,10334477) < F 5% (= 5,19) Berarti Ho diterima “tidak ada pengaruh perbedaan suhu terhadap jumlah gerakan operkulum” Grafik 1 Hasil Pengamatan Pengaruh Suhu Terhadap Gerakan Operkulum. 

4.2 Pembahasan 
       Pada praktikum Pengaruh Lingkungan terhadap Ikan dengan analisis Anova one way telah menunjukkan bahwa kenaikan maupun penurunan suhu air tidak mempengaruhi gerakan operkulum ikan dengan nyata. Pada uji coba yang kami lakukan terbukti bahwa perubahan suhu air memberikan respon yang tidak berarti bagi ikan. Melihat grafik yang ditunjukkan diatas dapat dianalisis bahwa jumlah gerakan operkulum ikan tidak berbanding lurus dengan meningkatnya suhu. 
         Suhu kontrol awal yakni 24oC, didapat jumlah kali gerakan operkulum pada ulangan 1 sebanyak 102 dan ulangan 2 sebanyak 96 kali. Setelah suhu dinaikan sebesar 5oC menjadi 31oC, terjadi peningktan jumlah gerakan operkulum pada operkulum ulangan 1 sebesar 140 kali, dan pada ulangan 2 sebesar 110 kali. jika diamati maka, kedua jenis ikan mempunyai perubahan kenaikan jumlah gerakan operkulum yang berbeda. Artinya, masing-masing jenis ikan mempunyai kisaran toleransi yang berbeda. Ikan Mas secara normal dapat tumbuh dengan baik pada kisaran suhu 24oC -30oC. Perubahan suhu air sebesar 1oC dapat dirasakan oleh Ikan (Campbell. 2002; 294). Perubahan suhu air sebesar 5oC, membuat respon fisiologis dan tingkah laku Ikan mas Komet dapat diamati dengan jelas. 
        Perubahan tersebut teramati pada kegiatan praktikum kali ini berupa peningkatan gerakan operkulum sebesar 38 kali pada ulangan 1 dan 14 kali pada ulangan 2. Peningkatan suhu air sebesar +10oC (35 oC) dari suhu awal rupanya tidak meningkatkan perubahan gerakan operkulum pada ikan dengan nyata. Ulangan 2 menunjukan peningkatan sebesar 7oC. Namun peningkatan gerakan operkulum tidak terjadi pada ulangan 1. Pada ulangan 1, gerakan operkulum justru menurun dengan meningkatkan suhu air. Respon fisilogis dan tingkah laku ikan Mas Komet menunjukkan perbedaan pada perlakuan ini. Sehingga dapat disimpulkan bahwa respon fisiologis dan Tingkah laku Ikan Mas Komet berbeda pada suhu yang relatif tinggi. 
        Kecepatan renang Ikan pada suhu air 35 oC berbeda pada saat suhu air berada pada 24 oC dan 31oC. Pada suhu 35 oC ikan berenang lebih cepat daripada pada suhu sebelumnya. Perubahan kecepatan renang tersebut tidak selalu berbanding lurus dengan perubahan gerakan operkulum, karena peningkatan kecepatan renang tidak menyebabkan peningkatan gerakan operkulum pada ulangan 1. 
        Pada perlakuan penurunan suhu air dari suhu normal sebesar -5oC (19oC) terjadi peningkatan gerakan operkulum Ikan. Hal tersebut ditunjukkan pada jumlah gerakan operkulum ikan sebesar 109 kali pada ulangan 1, dan 100 kali pada ulangan 2. Namun peningkatan gerak operkulum ikan tidak terlalu tinggi. Tidak dapat dibuat kesimpulan pada perlakuan ini, karena seharusnya penurunan suhu justru mempengaruhi penurunan gerakan operkulum ikan, sehingga faktor-faktor lain perlu dikaji. Kami beranggapan bahwa perubahan suhu air dari 35oC menjadi 19oC menyebabkan respon tiba-tiba Ikan Mas komet yang ditunjukkan dengan peningkatan gerakan operkulum. Hal tersebut didukung oleh Campbell (2002; 294) melaui kurva toleransi dan aklimasi Ikan Mas. Bahwa baik suhu optimal maupun suhu kisaran toleransi dapat bergeser sedikit ketika ikan tersebut secara perlahan-lahan diaklimasikan terhadap suhu air 5oC. 
       Perubahan suhu yang besar dan mendadak jelas dengan nyata mempengaruhi adaptasi Ikan, Ikan yang diaklimasikan ke suhu yang dingin akan berenang lebih cepat (Campbell. 2002; 294). Pada perlakuan ini ada korelasi bahwa semakin rendah suhu maka semakin cepat gerakan renang Ikan dan semakin cepat pula gerakan operkulum sebagai respon suhu rendah, dimana korelasi ini tidak kami temui pada perlakuan pada suhu panas. 
         Ikan yang hidup di dalam air yang mempunyai suhu relatif tinggi akan mengalami kenaikan kecepatan respirasi (Kanisius. 1992; 23). Hal tersebut dapat diamati dari perubahan gerakan operculum ikan. Kisaran toleransi suhu antara spesies ikan satu dengan lainnya berbeda, misalnya pada ikan salmonid suhu terendah yang dapat menyebabkan kematian berada tepat diatas titik beku, sedangkan suhu tinggi dapat menyebabkan gangguan fisiologis ikan (Tunas. 2005; 16-17). Sedangkan kisaran toleransi pada Ikan Mas Komet dalam praktikum kali ini sulit ditentukan dengan pasti. Namun dapat diketahui bahwa suhu tinggi menyebabkan gerakan operkulum semakin naik dan suhu rendah menurunkan gerakan operkulum. 
           Gerakan operkulum sebenarnya merupakan indikator laju respirasi Ikan. Sedangkan suhu merupakan faktor pembatas bagi kehidupan ikan. Telah diketahui bahwa suhu tinggi akan menyebabkan berkurangnya gas oksigen terlarut, akibatnya ikan akan mempercepat gerakan operkulum untuk mendapatkan gas oksigen dengan cepat sesuai kebutuhan respirasinya. Menurut Fujaya (1999;106) rendahnya jumlah oksigen dalam air menyebabkan ikan atau hewan air harus memompa sejumlah besar air ke permukaan alat respirasinya untuk mengambil Oksigen. Fujaya menambahkan bahwa tidak hanya volume besar yang dibutuhkan tetapi juga energi pemompaan juga semakin besar. Menurut Nolan dan Collin (1996;4) suhu air dalam akuarium yang tinggi tidak hanya mempengaruhi kelarutan oksigen tetapi juga mepengaruhi laju metabolisme respirasi ikan.   
          Dapat diperkirakan bahwa perubahan suhu lingkungan hidup dapat mempengaruhi proses-proses hayati di dalam tubuh organisme karena proses ini bersifat kimiawi. Juga suhu lingkungan hidup merupakan faktor dalam distribusi organisme, sedangkan sifat fisika lingkungan hidup, misalnya viskositas air mempengaruhi suhu. Viskositas air menurun dengan meningkatnya suhu. Mengingat faktor tersebut suhu merupakan faktor ekologi yang penting (Koesbiono,1980 dalam Mamangkey, Jack j. 2004). 
       Dari hasil analisis grafik diatas diketahui bahwa kedua ikan menunjukkan respon yang berbeda terhadap pengaruh perubahan suhu. Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan Oksigen dan Kisaran toleransi ikan berbeda meski dalam satu spesies. Menurut Fujaya (1999;115) kebutuhan oksigen ikan sangat dipengaruhi umur, aktivitas, serta kondisi perairan. Semakin tua umur ikan, laju metabolisme semakin rendah. Fujaya menambahkan bahwa perbedaan aktivitas juga menyebabkan perbedaan kebutuhan oksigen. Pada praktikum kali ini dapat dirumuskan beberapa kemungkinan yang menyebabkan gerakan operkulum ikan berbeda pada beberapa perlakuan, kemungkinan tersebut antara lain yakni, ikan Mas Komet yang digunakan dalam praktikum kali ini memiliki umur, aktivitas dan ukuran tubuh yang berbeda. 

BAB V PENUTUP 

5.1 Kesimpulan 
Dari hasil praktikum Pengaruh Lingkungan terhadap Ikan dapat disimpulkan sebagai berikut: 
1. Perubahan suhu air tidak berpengaruh nyata pada perubahan gerakan operkulum ikan setelah dilakukan analisis data secara Anova one way. 
2. Suhu merupakan faktor pembatas bagi kehidupan Ikan, suhu yang tinggi menurunkan kelarutan gas oksigen dalam air sedangkan suhu yang rendah menaikkan kelarutan gas oksigen dalam air. 
3. Setiap jenis ikan memiliki kisaran toleransi suhu air yang berbeda. Ikan Mas Komet umumnya dapat bertahan hidup secara normal pada suhu 25oC-30oC. 
4. Gerakan operkulum merupakan indikator laju respirasi dan kadar oksigen terlarut dalam air. Suhu mempengaruhi laju respirasi ikan dan kadar oksigen dalam air. 
5. Kenaikkan suhu akan menurunkan oksigen terlarut sedangkan penurunan suhu meningkatkan oksigen terlarut. Respon ikan terhadap pengaruh suhu dapat diamati dari perubahan fisiologis dan tingkah laku ikan. 
6. Kebutuhan oksigen ikan sangat dipengaruhi oleh umur, ukuran tubuh, dan aktivitas ikan. 

5.2 Saran 
1. Pada praktikum kali ini perlu dipilih ikan-ikan yang mempunyai umur, aktivitas dan ukuran yang sama agar presisi kebutuhan oksigennya seragam. 
2. Hasil yang didapat dalam praktikum kali ini tidak berpengaruh nyata, dan tidak sesuai dengan teori yang berkembang. Perlu ditetapkan metode praktikum agar tujuan praktikum dapat berlangsung dengan baik. 

DAFTAR PUSTAKA 
Campbell. 2004. Biologi, Edisi Kelima-Jilid 3. Jakarta. Penerbit Erlangga 
Darmadi. 2009. Laporan Praktikum Fisiologi Hewan (Operkulum Ikan). Bandung. Universitas Padjajaran. http://dharmadharma.wordpress.com/ diakses pada Jum’at, 8 April 2011 pukul 19.30 WIB 
Djamal, Zoer’aini.1992.Prinsip-Prinsip Ekologi dan Organisasi. Jakarta. Penerbit P.T Bumi Aksara 
Ewusie. 1990. Pengantar Ekologi Tropika. Bandung. Penerbit Institut Teknologi Bandung 
Fujaya, Yushinta. 2004. Fisisologi Ikan. Jakarta. Penerbit P.T Rineka Cipta 
Kanisius. 1992. Polusi Air dan Udara. Yogjakarta. Penerbis Kanisius 
Koesbiono, 1980. Biologi Laut. Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor. 
Mamangkey, Jack j. 2004. Ekologi Ikan Butini (Glossogobius matanensis) di Danau Matano Daerah Malili Sulawesi Selatan. Makalah Falsafah Sains (pps 702) program pascasarjana/s3 Institut Pertanian Bogor November 25, 2004 Nolan, Collin.1996. Ventilation rates for Goldfish Carassius auratus during changes in dissolved oxygen. Professional Papper. University of Nevada Las Vegas. 12-4-1996 
Soetjipta. 1993. Dasar-dasar Ekologi Hewan. Yogjakarta. Penerbit Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Sugiri, 
Nawangsari. 1984. Zoologi Umum. Jakarta. Penerbit Erlangga 
Sukiya. 2005. Biologi Vertebrata. Malang. Penerbit Universitas Negeri Malang 
Tunas, Arthama Wayan. 2005. Patologi Ikan Toloestei. Yogjakarta. Penerbit Universitas Gadjah Mada 

Lampiran 
analisis Anova one way tidak ditampilkan

3 komentar:

  1. terimakasih, tulisan anda sangat membantu saya..
    kalo mau tanya2 lebih rinci dengan anda bisa gak?
    salam kenal ^_^

    BalasHapus
  2. Itu yg dihitung selama satu menit apanya?

    BalasHapus
  3. Itu yg dihitung selama satu menit apanya?

    BalasHapus