Senin, 18 April 2011

LAPORAN PRAKTIKUM EKOLOGI HEWAN Hubungan Morfologi dan Jenis Makanan terhadap Habitat Kadal (Mabouya multifasciata)

A.      PENDAHULUAN
A.1 Latar Belakang
          Setiap organisme mempunyai habitat sesuai dengan kebutuhannya. Apabila ada gangguan  yang menimpa pada habitat akan menyebabkan terjadinya perubahan pada komponen habitat, sehingga ada kemungkinan habitat menjadi tidak cocok bagi organisme yang menggunakannya (Indriyanto. 2006; 27) Dalam ekosistem alam dikenal adanya tingkat trofik suatu kelompok organisme. Tingkat trofik menunjukkan menunjukkan urutan organisme dalam rantai makanan pada suatu ekosistem (Indriyanto. 2006; 32).
          Kadal (Mabouya multifasciata) adalah salah satu hewan dari kelompok Reptilia.  Hewan reptilia ini terdapat hampir di seluruh daratan Indonesia, seperti di sekitar persawahan, pinggir kolam, perkebunan, di bawah pepohonan yang tumbang dan semak belukar (Hoeve, 1992 dalam Ridwan. 2001). Kadal ditemukan di berbagai tempat, sehingga pemilihan kadal sebagai hewan uji Praktikum tepat karena ukurannya yang relatif kecil dan tersebar secara kosmopolit.
          Suatu hasil analisis isi perut dapat memberikan banyak informasi terkait jenis pakan yang paling disukai (Bangsal dan Keith, 1962). Secara teoritis apabila makan yang tersedia di alam kurang dan tidak sebanding dengan kebutuhannya terdapat naluri kecenderungan untuk lebih selektif dalam mencari makanan (Johnson.1980). Hingga saat, studi mengenai kebiasaan makan melalui analisis isi perut pada kelompok Reptil berfokus pada kura-kura (Fields et al.2003).
Kadal diketahui merupakan hewan yang memakan beberapa jenis makanan. Tidak diketahui dengan jelas makanan utama kadal. Namun Kadal memangsa serangga, dalam hal ini  Kadal dinamakan musuh alami serangga. Kadal dapat dikategorikan sebagai predator serangga. Kadal merupakan komponen yang sangat penting pada dinamika populasi serangga. Sehingga Kadal memiliki pengaruh menurunkan secara nyata total jumlah serangga (Hadi. 2009. )
          Telah diketahui bahwa habitat dan  morfologi mempengaruhi cara makan organisme, terutama kadal. Kadal hidup diberbagai tempat, Sehingga dapat diasumsikan bahwa setiap kadal memiliki jenis makanan yang disesuaikan dengan ketersediaannya di lingkungannya. Sehingga untuk memahami hubungan habitat dan morfologi terhadap jenis makanan kadal perlu diketahui untuk menjelaskan bagaimana hubungan tersebut terjadi dengan menggunakan hewan coba Kadal. pendekatan analisis isi perut diteliti untuk dapat menerangkan kebiasaan makan dalam siklus ekologi terhadap populasi Kadal.
A.2 Rumusan Masalah
          Adapun Rumusan Masalah pada Praktikum kali ini adalah:
1.         Bagaimana hubungan Morfologi dan Jenis Makanan terhadap Habitat Kadal (Mabouya multifasciata)?
2.         Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi Jenis Makanan Kadal (Mabouya multifasciata)?
A.3 Tujuan
Adapun tujuan dari Praktikum kali ini adalah:
1.      Mengetahui hubungan Morfologi dan Jenis Makanan terhadap Habitat Kadal (Mabouya multifasciata).
2.      Mengetahui Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi Jenis Makanan Kadal (Mabouya multifasciata).

B. KAJIAN PUSTAKA
B.1 Biologi Kadal (Mabouya multifasciata)
Kadal (Mabouya multifasciata) hidup di daerah tanah basah atau lembab. Tubuh kadal terbagi menjadi tiga bagian yaitu kepala (caput) yang terdiri dari mata, lubang hidung dan telingga. Badan (truncus) yang terdiri dari telingga hingga kloaka dan yang terakhir yaitu bagian ekor (cauda) yang memiliki bentuk bulat meruncing ke ujung. Kadal mempunyai sepasang anggota depan (extrimitas anterior) dan sepasang anggota belakang (extrimitas posterior). Masing-masing terdiri atas lima jari dan kuku-kuku yang cocok untuk berlari, mencengkeram, dan naik ke pohon (Sukiya.2005).
Kadal dari genus Mabouya banyak macamnya, kadal ini tersebar di banyak lokasi di dunia, di Indonesia, spesies kadal yang umum ditemukan adalah Mabouya multifasciata. Di negara tropis seperti Brasilia banyak ditemukan genus Mabouya yang lain diantaranya : M. bistriata, M. cochabambae, M. croizati  M. dorsivittata,  M. falconensis, M. frenata,  M. guaporicola, M. mabouya (Miralles et al. 2009)
B.2 Sistem Pencernaan Kadal
Kadal memiiki lidah yang pipih terdapat di lantai mulut. Batas belakangnya memiliki lipatan transversal yang berlawanan arah dengan lipatan yang mirip di bagian palatum. Ketika ditekan bersamaan, lipatan ini menutup rongga mulut dari faring. Kadal memiliki lidah yang panjang dan elastis, hal ini disesuaikan dengan jenis makanannya ( Storer. Tanpa tahun; 536-537) Sebagian besar kadal memiliki gigi seragam atau homo dont. Gigi tersebut digunakan untuk mencerna makanan berupa rumput dan serangga. Kadal merupakan anggota Lacertilia yang mempunyai kemampuan autotomi dan regenerasi ekor (Rachman.2008)
B.3 Konsep Habitat dan Relung
            Setiap organisme mempunyai habitat sesuai dengan kebutuhannya. Apabila ada gangguan  yang menimpa pada habitat akan menyebabkan terjadinya perubahan pada komponen habitat, sehingga ada kemungkinan habitat menjadi tidak cocok bagi organisme yang menggunakannya (Indriyanto. 2006; 27)
Relung atau niche merupakan cara hidup dari mahluk hidup dalam habitatnya. Seperti burung ada yang memakan buah atau biji, ada pula yang memakan ulat dan semut, adapula yang memakan ikan dan kodok, atau kembang bangkai yang memakan bangkai. Niche ada yang bersifat umum dan ada yang bersifat spesifik. Seperti ayam termasuk mempunyai niche umum karena dapat memakan cacing, padi, daging, ikan, rumput dan lainnya. Termasuk manusia yang memakan segalanya. Dalam hal ini manusia dan ayam  disebut polifag, yang berarti makan banyak jenis. Ada pula yang memakan beberapa jenis disebut oligofag. Bahkan ada pula yang hanya memakan satu jenis, yang disebut monofag (Djamal. 1992;60).
B.4 Struktur Trofik
Struktur trofik bermanfaat untuk mengetahui  karakteristik struktur komunitas dalam bentuk aliran energi. Trofik  berasal dari bahasa Yunani yang berarti makanan. Tumbuhan yang berhijau daun merupakan autrotrof, yang berarti organisme yang dapat membuat makanannya sendiri dan dalam struktur trofik berada pada tingkat trofik pertama (Suheriyanto. 2008; 92).
            Suheriyanto (2009) menambahkan bahwa organisme yang memerlukan komponen organik sebagai sumber energinya disebut heterotrof. Yang termasuk heterotrof adalah semua hewan, herbivora, karnivora, dan beberapa organisme parasit. Herbivora memakan tumbuhan yang berada pada tingkat trofik kedua, karnivora yang memakan herbivora berada pada tingkat trofik ketiga dan karnivora yang memakan karnivora yang lain berada pada tingkat trofik yang keempat.
B.5  Rantai Makanan
            Hubungan makan dan dimakan dari  suatu organisme akan membentuk rantai makanan. Ranati makanan adalah pemindahan energi dari sumbernya melalui serangkaian organisme yang memakan dan dimakan. Rantai makanan memberikan banyak informasi tentang bagaimana energi dan materi beredar melalui komunitas (Odum.1998; 155).
Sistem produksi dalam ekosistem erat hubungannya dengan daur materi dan aliran energi. Produksi merupakan istilah umum bagi ahli ekologi yang digunakan untuk proses pemasukkan dan penyimpanan energi di dalam ekosistem. Produksi primer meliputi pemasukan-pemasukan yang mencakup pemindahan energi cahaya menjadi energi kimia oleh produsen. Penggunaan energi pada binatang dan mikroba disebut produksi sekunder (Djamal. 1992.37).
B.6  Faktor-faktor yang Mempengaruhi Aktivitas Makan Kadal
            Ditinjau dari segi kompetisi pakan, antara kadal jantan dan betina dewasa pada beberapa spesies kadal cenderung mempunyai relung yang berbeda (Kurniati 2000 dalam Sidik, 2006). perbedaan ini disebabkan karena dimorfisme seksual, sebagaimana telah dibuktikan oleh Kurniati dan Semiadi (1997 dalam Sidik, 2006) pada kadal spesies tertentu. dimorfisme seksual ukuran tubuh yang berpengaruh kepada kemampuan berburu pada kelompok Reptilia adalah panjang tubuh (kurniati dan Maryanti, 1996) selain panjang tubuh, alat lokomotor juga berpengaruh pada kemampuan berburu (Kurniati dan Semiadi, 1997 dalam Sidik, 2006).
Kadal jantan dan betina dalam mengonsumsi energi dari berbagai jenis pakan akan menyesuaikan dengan kebutuhan energi untuk aktivitasnya. Selain itu tingkat kandungan energi pakan dapat menentukan jumlah konsumsi pakan (Ridwan. 2001).
Perilaku kadal sangat aktif di siang hari. makanan utamanya adalah serangga dan juga beberapa jenis tumbuhan. pola kebiasaan dalam memilih makanan (mangsa) kadal ini sangat berkaitan erat antara proporsi dari materi yang terkandung dalam isi perut dengan komposisi yang menjadi sumber bahan makanannya di alam.

C. METODE PRAKTIKUM
C.1  Waktu dan Tempat
Praktikum Hubungan Morfologi dan Jenis Makanan Kadal di Beberapa Habitat kali ini dilaksanakan pada Hari Rabu tanggal 13 April 2011 pukul 10.00 WIB sampai dengan selesai di Laboratorium Ekologi dan Sumber Daya Alam Hayati Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang

C.2 Alat dan Bahan
C.2.1 Alat-alat
            Adapun alat-alat yang digunakan dalam praktikum kali ini adalah:
  1. Papan preparat                                    3 buah
  2. Gunting bedah                                      3 buah
  3. Silet beda                                            3 buah
  4. Pinset                                                  3 buah
  5. Jarum preparat                                     secukupnya
  6. Kaca pembesar                                    3 buah
C.2.2 Bahan-bahan
            Adapun bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum kali ini adalah:
  1. Kadal (Mabouya multifasciata)           3 ekor
  2. Klorofom                                            1 botol kecil
  3. Kapas                                                  secukupnya

C.3 Langkah Kerja
            Adapun langkah kerja dalam Praktikum kali ini adalah:
  1. Ditangkap tiga Kadal di tiga habitat berbeda yakni sawah, lapangan dan di pinggir jalan satu hari sebelum dibedah
  2. Ditandai masing-masing Kadal sesuai tempat ditemukannya.
  3. Dibius Kadal sebelum dibedah diesok harinya
  4. Ditempatkan Kadal di papan preparat
  5. Diamati ciri morfologi berupa panjang bagian tubuh dan warna
  6. Dibedah Kadal dengan Gunting bedah dan Silet Bedah membujur sesuai tengah ventral
  7. Diamati kondisi sistem pencernaannya
  8. Diambil bagian Lambung dan Usus Kadal
  9. Diamati jenis makanan yang ada
  10. Dianalisis hasil pengamatan

D. HASIL DAN PEMBAHASAN
D.1 Hasil Pengamatan
            Berikut ini merupakan data Morfologi Kadal dan Jenis Makanan pada Beberapa Habitat.
No
Habitat
Ukuran
Morfologi
Jenis Makanan
Prosentase
1.
Pinggir jalan (sawah)
Kepala : 2,5
Kaki dpn: 2
Kaki blkg: 5
Ekor : 9,5
Warna
Dorsal : coklat kehijauan
Ventral anterior : putih
Ventral posterior: kuning
Rumput
Serangga
50%
50%
2.
Jalan
Kepala : 1,4
Kaki : 2,5
Badan : 5
Ekor : 8,5
Keseluruhan : 14,5
Warna
Dorsal : coklat kehijauan
Ventral : putih kuning
Serangga
100%
3.
Splindit (kandang budidaya)
Kepala : 1,2
Kaki : 1,7
Badan : 5
Ekor : 9
Warna
Dorsal : coklat kehijauan
Ventral : putih
-
-
Keterangan ukuran dalam satuan cm.
Grafik perbandingan morfologi ketiga sampel kadal
disembunyikan.
Keterangan ukuran dalam satuan cm.
D.2 Pembahasan
       Pada praktikum kali ini dilakukan pemerikkasaan jenis makanan dan karakter morfologi dari sepeies Kadal (mabouya multifasciata) di beberapa habitat yang berbeda, adapun kadal yang kami dapatkan berasal dari habitat : tepi jalan (samping area persawahan) selanjutnya kami sebut kadal habitat I, di jalan (kadal habitat II) dan kadal yang kami beli di kandang budidaya kadal di Splindid (kadal habitat III).
       Jika dilihat dari grafik perbandingan morfologi kadal di atas. Maka Kadal habitat I merupakan kadal dengan ukuran yang paling besar. Dalam pembedahan sistem pencernaan kadal habitat I di temukan jenis makanan yang dimakan kadal. Yakni antara lain : tumbuhan dan serangga. Rumput tersebut memang tidak dapat diamati dengan baik, karena sudah hancur di dalam usus. Namun masih terlihat beberapa serat-serat khas rumput dan hasil pencernaan yang masih berada di usus berwarna hijau. Ciri khas dari proses pencernaan rumput. Selain rumput, juga menemukan serangga di dalam usus Kadal. Walaupun tidak utuh serangga tersebut, namun tampak sisa-sisa skelekton serangga yang tak tercerna oleh enzim pencernaan kadal.
       Kadal yang kami temukan di pinggir jalan di dekat area persawahan ini memiliki beberapa kombinasi jenis makanan. Sehingga dapat diketahui keadaan habitatnya. Setidaknya area persawahan didominasi oleh tumbuhan berupa rumput-rumputan dan tumbuhan herba lain. Keanekaragaman serangga juga masih kita jumpai di area sawah. Sehingga kadal yang kami temukan pada habitat ini tentu saja mendapatkan jenis makanan yang representatif dari kondisi habitat sawah.
       Menurut Ibrahim (2003) Mabouya multifasciata dikenal sebagai Many-lined Sun Skink merupakan jenis kadal yang paling sering ditemukan dan jumlahnya masih banyak. ditemukan pada lantai hutan dan sering ditemukan di beberapa tempat. jenis ini sering ditemukan di daerah terbuka dari sinar matahari dan habitatnya juga meluas sampai pemukiman manusia (Ibrahim et al. 2003)
Kadal (Mabouya multifasciata) mencari makan di atas tanah dan memanjat dahan-dahan tanaman untuk memangsa ulat. Hewan ini menggali lubang di tanah untuk membuat sarang di mana ia menemukan sarang rayap, hama yang membusukkan akar dan batang tanaman. Ia juga memangsa larva penyerang akar tanaman (Porat.  2008).
Pada Kadal Habitat II yang kami temukan di jalan, disekitar area pemukiman warga, setelah pengamatan isi perut didapatkan hasil sebagai berikut : Kadal terdiri hanya 1 jenis makanan yakni serangga, belum diketahui jenis serangga apa yang dimakan oleh Kadal Habitat II ini. Seperti halnya pada Kadal Habitat I, bekas skelekton dari serangga masih terlihat dengan jelas pada pengamatan organ lambung Kadal.
Dalam pengamatan Kadal habitat II ini, tidak ditemukan jenis makanan tumbuhan di dalam isi perut kadal. Berbeda dengan pada Pengamatan kadal habitat I. Belum diketahui dengan jelas terkait penjelasan hal ini. Namun menurut kami, Kadal yang ditemukan di Jalan daerah pemukiman warga tersebut hanya mendapatkan makanan berupa serangga saja, hal ini karena di daerah pemukiman jarang ditumbuhi oleh tumbuhan-tumbuhan kecil misanya rumput.
            Pada pengamatan isi perut Kadal yang ketiga, sumber Kadal kami dapatkan dari kandang pemeliharaan Kadal di pasar hewan Splindit. Adapun tujuan kami untuk mengambil sampel disana adalah untuk mengetahui jenis makanan kadal yang dibudidayakan.  Dari hasil analisis isi perut kadal, tidak ditemukan makanan apapun, hanya terdapat cairan putih bening di organ pencernaannya. Diduga cairan tersebut adalah air dan cairan lambung yang dikeluarkan kadal. Isi perut kadal habitat III ini tidak menunjukkan bahwa, kadal yang dipelihara tidak dapat mengakses makanannya sendiri, walaupun dari pihak pemeliharan memberikan makanan, namun rupanya kadal tidak sesuai dengan makanan kadal sesungguhnya. Akibatnya kadal malah berukuran kecil akrena kurang makan.
            Hasil analisa ontogonik antara jenis makanan yang dikonsumsi terhadap ukuran anggota tubuh menunjukkan tidak adanya hubungan yang erat diantara parameter yang diukur.  Walaupun demikian ada kecenderungan bahwa semakin besar ukuran tubuh kecenderungan pemangsaan jenis satwa yang lebih besar terlihat dari hasil praktikum kali ini menunjukkan bahwa Ukuran kadal yang paling besar ditemukan jenis makanan yang lebih banyak dan bervariasi sedangkan kadal yang kecil malah tidak ditemukan makanan dalam pengamatan isi perutnya.
            Jika dipahami, dalam tingkat trofik, maka Kadal merupakan organisme yang menduduki trofik tingkat I dan II sekaligus. Dikatakan tingkat I karena Kadal mengkonsumsi rumput dari lingkungannya, dan dikatakan tingkat II karena Kadal memakan serangga yang memakan tumbuhan.
Pada dasarnya kadal bukan merupakan jenis reptil yang tergantung pada satu jenis pakan saja. Ditunjukkan dalam praktikum kali ini bahwa kadal memakan berbagai jenis serangga bahkan berberapa jenis tumbuhan. namun dapat disimpullkan bahwa keseimbangan ketersediaan pakan dari berbagai jenis pakan serta ukuran morfologis sedikit berkorelasi dengan habitat kadal tersebut .     Ditinjau dari segi kompetisi pakan, antara kadal jantan dan betina dewasa pada beberapa spesies kadal cenderung mempunyai relung yang berbeda (Kurniati 2000). perbedaan ini disebabkan karena dimorfisme seksual, sebagaimana telah dibuktikan oleh Kurniati dan Semiadi (1997 dalam Sidik, 2006) pada kadal spesies tertentu. dimorfisme seksual ukuran tubuh yang berpengaruh kepada kemampuan berburu pada kelompok Reptilia adalah panjang tubuh (Kurniati dan Maryanti, 1996 dalam Sidik, 2006) selain panjang tubuh, alat lokomotor juga berpengaruh pada kemampuan berburu (Kurniati dan Semiadi, 1997 dalam Sidik, 2006). Sehingga untuk menganalisis isi perut suatu hewan juga perlu dipertimbangkan jenis kelamin dan ukuran tubuhnya juga.

E. PENUTUP
E.1  Kesimpulan
       Dari hasil praktikum kali ini diambil beberapa kesimpulan diantaranya adalah sebagai berikut :
1.    Hasil analisa ontogonik antara jenis makanan yang dikonsumsi terhadap ukuran anggota tubuh menunjukkan tidak adanya hubungan yang erat diantara parameter yang diukur.
2.    Ada kecenderungan bahwa semakin besar ukuran tubuh kecenderungan pemangsaan jenis satwa yang lebih besar terlihat dari hasil praktikum kali ini menunjukkan bahwa Ukuran kadal yang paling besar ditemukan jenis makanan yang lebih banyak dan bervariasi sedangkan kadal yang kecil malah tidak ditemukan makanan dalam pengamatan isi perutnya.
3.    Kadal bukan merupakan jenis reptil yang tergantung pada satu jenis pakan saja. Ditunjukkan dalam praktikum kali ini bahwa kadal memakan berbagai jenis serangga bahkan berberapa jenis tumbuhan.
E.2 Saran
1. Pada praktikum kali ini perlu diamati juga parameter umur, aktivitas, jenis kelamin dan ukuran Kadal, karena perbedaan parameter tersebut berpengaruh pada isi perut reptil.
2. Hasil yang didapat dalam praktikum kali ini tidak terdapat hubungan yang  nyata, dan tidak sesuai dengan teori yang berkembang. Perlu digunakan sampel Kadal dengan jumlah yang lebih banyak lagi.
DAFTAR PUSTAKA
Djamal. Zoer’aini. 1992. Prinsip-prinsip Ekologi dan Organisasi. Jakarta. Penerbit P.T Bumi Aksara
Hadi, Mochamad. 2009. Biologi Insekta Entomologi. Yogjakarta. Penerbit Graha Ilmu
Ibrahim et al. 2003. An Annotated Checklist of Herpetofauna Of Langkawi Island, Kedah, Malasyia. Malayan Nature journal
Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. Jakarta. Penerbit P.T Bumi Aksara
Kurniati, Helen. 2001. Perbedaan Relung Intraspesifik Kadal (Sphenomorphus variegatus : Ditinjau dari Variasi Morfometrik (Lacertilia : Scincidae). Biota Vol. VI (3) : 105-108 Oktober 2001 ISSN 0853-8670
Miralles, Aurelien et al. 2009. Three rare and enigmatic South American Skinks. Zootaxa 2012:48-68. ISSN 1175-5334 (online edition)            http:// www.mapress.com/zootaxa tanggal 14 April 2011 pukul 20.12 WIB
Odum, E.P. Dasar-dasar Ekologi edisi ketiga. Penerjemah: Tjahyono Samingan. Jogjakarta. Penerbit Universitas Gadjah Mada.
Porat. Emanuel.  2008. Menakar Manfaat Predator di  Kawasan Wanatani Kopi. Departemen Kehutanan. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Balai Konservasi Sumber Daya Alam
Rachman, A. and Hadi, S., 2008. Stuktur makro dan mikroanatomi otot ekor pada ekor asli dan regenerat ekor kadal (Mabouya multifasciata Kuhl). Berkala Ilmiah Biologi 6(2): 81 – 86
Ridwan, Roni. 2001.  Pemberian Berbagai Jenis Pakan untuk Mengevaluasi Palatabilitas, Konsumsi Protein dan Energi pada Kadal (Mabouya multifasciata) Dewasa. Biodiversitas ISSN: 1412-033X Volume 2, Nomor 1 Januari 2001 Halaman: 98-103
Sidik, J. 2006. Analisis Isi perut dan Ukuran Tubuh Ular Jali (Ptyas mocacus). Zoo Indonesia. Vol. 15(2): 121-127
Storer, Tracy. Tanpa tahun. Dasar-dasar Zoologi. Tangerang Selatan. Penerbit Binarupa Aksara
Suheriyanto, Dwi. 2008. Ekologi Serangga. Malang. Penerbit UIN Maliki Malang
Sukiya. 2005. Biologi Vertebrata. Malang. Penerbit Universitas Negeri Malang.

Senin, 11 April 2011

LAPORAN PRAKTIKUM PENGARUH LINGKUNGAN TERHADAP IKAN

BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
      Keberhasilan suatu organisme untuk bertahan hidup dan bereproduksi mencerminkan keseluruhan toleransinya terhadap seluruh kumpulan variabel lingkungan yang dihadapi organisme tersebut (Campbell. 2004; 288). Artinya bahwa setiap organisme harus mampu menyesuaikan diri terhadap kondisi lingkungannya. Adaptasi tersebut berupa respon morfologi, fisiologis dan tingkah laku. Pada lingkungan perairan, faktor fisik, kimiawi dan biologis berperan dalam pengaturan homeostatis yang diperlukan bagi pertumbuhan dan reproduksi biota perairan (Tunas. 2005;16).
     Suhu merupakan faktor penting dalam ekosistem perairan (Ewusie. 1990; 180). Kenaikan suhu air dapat akan menimbulkan kehidupan ikan dan hewan air lainnya terganggu (Kanisius. 1992; 22). Menurut Soetjipta (1993; 71), Air memiliki beberapa sifat termal yang unik, sehingga perubahan suhu dalam air berjalan lebih lambat dari pada udara. Selanjutnya Soetjipta menambahkan bahwa walaupun suhu kurang mudah berubah di dalam air daripada di udara, namun suhu merupakan faktor pembatas utama, oleh karena itu mahluk akuatik sering memiliki toleransi yang sempit.
     Ikan merupakan hewan ektotermik yang berarti tidak menghasilkan panas tubuh, sehingga suhu tubuhnya tergantung atau menyesuaikan suhu lingkungan sekelilingnya (Hoole et al, dalam Tunas. 2005; 16). Sebagai hewan air, ikan memiliki beberapa mekanisme fisiologis yang tidak dimiliki oleh hewan darat. Perbedaan habitat menyebabkan perkembangan organ-organ ikan disesuaikan dengan kondisi lingkungan (Yushinta. 2004: 14). Secara kesuluruhan ikan lebih toleran terhadap perubahan suhu air, beberapa spesies mampu hidup pada suhu air mencapai 290C, sedangkan jenis lain dapat hidup pada suhu air yang sangat dingin, akan tetapi kisaran toleransi individual terhadap suhu umumnya terbatas(Sukiya. 2005; 9)
     Ikan yang hidup di dalam air yang mempunyai suhu relatif tinggi akan mengalami kenaikan kecepatan respirasi (Kanisius. 1992; 23). Hal tersebut dapat diamati dari perubahan gerakan operculum ikan. Kisaran toleransi suhu antara spesies ikan satu dengan lainnya berbeda, misalnya pada ikan salmonid suhu terendah yang dapat menyebabkan kematian berada tepat diatas titik beku, sedangkan suhu tinggi dapat menyebabkan gangguan fisiologis ikan (Tunas. 2005; 16-17). Telah diketahui diatas bahwa suhu merupakan faktor abiotik yang paling berpengaruh pada lingkungan perairan, maka perlu diketahui bagaimana suhu mempengaruhi aktifitas biologis spesies ikan tertentu melalui gerakan operculum Ikan Mas Komet (Carassius auratus).

1.2 Rumusan Masalah
Adapun Rumusan masalah pada praktikum kali ini adalah:
1. Bagaimana perubahan gerakan operculum Ikan Mas Komet (Carassius auratus) terhadap perubahan suhu air.
2. Bagaimana respon tingkah laku Ikan Mas Komet (Carassius auratus) akibat perubahan suhu air.

1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari praktikum kali ini adalah:
1. Mengetahui perubahan gerakan operculum Ikan Mas Komet (Carassius auratus) terhadap perubahan suhu air.
2. Mengetahui respon tingkah laku Ikan Mas Komet (Carassius auratus) akibat perubahan suhu air.


BAB II
KAJIAN PUSTAKA


2.1 Adaptasi Organisme
      Adaptasi diartikan merupakan kemampuan individu untuk mengatasi keadaan lingkungan dan menggunakan sumber-sumber alam lebih banyak untuk mempertahankan hidupnya dalam relung yang diduduki. Ini bahwa setiap organisme mempunyai sifat adaptasi untuk hidup pada berbagai macam keadaan lingkungan (Djamal. 1992; 58).
        Djamal menambahkan bahwa bahwa ada beberapa jenis adaptasi yakni; adaptasi morfologis, adaptasi fisiologis dan adaptasi tingkah laku.

2.2 Biologi Ikan
      Pisces (Ikan) merupakan superkelas dari subfilum Vertebrata yang memiliki keanekaragaman sangat besar (Sukiya. 2005; 33). Ikan adalah anggota vertebrata poikilotermik (berdarah dingin) yang hidup di air dan bernapas dengan insang. Ikan merupakan kelompok vertebrata yang paling beraneka ragam dengan jumlah spesies lebih dari 27,000 di seluruh dunia (Fujaya,1999 dalam Dhamadi. 2009).
       Secara keseluruhan ikan lebih toleran terhadap perubahan suhu air suhu air, seperti vertebrata poikiloterm lain suhu tubuhnya bersifat ektotermik, artinya suhu tubuh sangat tergantung atas suhu lingkungan (Sukiya.2005;9-10). Selanjutnya Sukiya menambahkan bahwa beberapa ikan mempunyai perilaku istimewa seperti ikan Glodok yang dapat berjalan di atas daratan dan memanjat pohon.

2.3 Fisiologi Respirasi Ikan
      Sebagai biota perairan, Ikan merupakan mendapatkan Oksigen terlarut dalam air. Pada hampir semua Ikan, insang merupakan komponen penting dalam pertukaran gas, insang terbentuk dari lengkungan tulang rawan yang mengeras, dengan beberapa filamen insang di dalamnya (Fujaya. 1999; 103).
Menurut Sukiya (2005; 16), Setiap kali mulut dibuka, maka air dari luar akan masuk menuju farink kemudian keluar lagi melalui melewati celah insang, peristiwa ini melibatkan kartilago sebagai penyokong filamen ikan. Selanjutnya Sukiya menambahkan bahwa lamella insang berupa lempengan tipis yang diselubungi epitel pernafasan menutup jaringan vaskuler dan busur aorta, sehingga karbondioksida darah dapat bertukar dengan oksigen terlarut di dalam air.
     Organ insang pada ikan ditutupi oleh bagian khusus yang berfungsi untuk mengeluarkan air dari insang yang disebut operculum yang membentuk ruang operkulum di sebelah sisi lateral insang (Sugiri. 1984; 1966). Laju gerakan operculum ikan mempunyai korelasi positif terhadap laju respirasi ikan.

2.4 Pengaruh Suhu Air terhadap Ekosistem Perairan
     Salah satu faktor fisik lingkungan perairan adalah suhu. Permukaan air peka terhadap perubahan suhu, perubahan suhu dipengaruhi oleh letak geografisnya, ketinggian tempat, lama paparan terhadap matahari dan kedalaman badan air (Tunas. 2005;16, 18).
      Kenaikan suhu air akan dapat menimbulkan beberapa akibat sebagai berikut (Kanisius. 2005; 22-23):
a. Jumlah oksigen terlarut di dalam air menurun.
b. Kecepatan reaksi kimia meningkat
c. Kehidupan ikan dan hewan air lainnya terganggu.
d. Jika batas suhu yang mematikan terlampaui, ikan dan hewan air lainnya mungkin akan mati.
     Selanjutnya menurut Munro (1978 dalam Tunas 2005; 18), Peningkatan suhu air dapat menyebabkan penurunan kelarutan gas-gas, tetapi meningkatkan solubilitas senyawa-senyawa toksik seperti polutan minyak mentah dan pestisida, serta meningkatkan toksisitas logam berat, sebagai contoh bahwa pada air tawar (salinitas 0%) peningkatan suhu dari 25 menjadi 300C menyebabkan penurunan kelarutan oksigen dari 8,4 menjadi 7,6 mg/liter.

2.5 Pengaruh Suhu Air terhadap Respon Fisiologis dan Tingkah Laku Ikan
     Ikan memiliki derajat toleransi terhadap suhu dengan kisaran tertentu yang sangat berperan bagi pertumbuhan, inkubasi telur, konversi pakan dan resistensi terhadap penyakit (Tunas. 2005;16). Selanjutkan Tunas menambahkan bahwa ikan akan mengalami stres manakala terpapar pada suhu di luar kisaran yang dapat ditoleransi.
     Suhu tinggi tidak selalu berakibat mematikan tetapi dapat menyebabkan gangguan status kesehatan untuk jangka panjang. Misalnya stres yang ditandai tubuh lemah, kurus, dan tingkah laku abnormal, sedangkan suhu rendah mengakibatkan ikan menjadi rentan terhadap infeksi fungi dan bakteri patogen akibat melemahnya sistem imun (Tunas. 2005;16-17). Pada dasarnya suhu rendah memungkinkan air mengandung oksigen lebih tingi, tetapi suhu rendah menyebabkan stres pernafasan pada ikan berupa penurunan laju respirasi dan denyut jantung sehingga dapat berlanjut dengan pingsannya ikan-ikan akibat kekurangan oksigen.
     Penelitihan oleh Kuz’mina et al. (1996 dalam Tunas. 2005) menunjukkan bahwa suhu perairan sangat berpengaruh terhadap laju metabolisme dan proses-proses biologis ikan. Ditunjukkan bahwa aktivitas enzim pencernaan karbohidrase sangat dipengaruhi oleh suhu, aktivitas protease tertinggi dijumpai pada musim panas, adapun aktivitas amilase tertinggi dijumpai pada musim gugur (Hofer, 1979a ; 1979b dalam Tunas. 2005; 18).
      Menurut Kanisius (1992; 23) suhu air yang relatif tinggi dapat ditandai antara lain dengan munculnya ikan-ikan dan hewan air lainnya ke permukaan untuk mencari oksigen.

BAB III
METODE PRAKTIKUM


3.1 Waktu dan Tempat Praktikum
       Praktikum Pengaruh Lingkungan terhadap Ikan kali ini dilaksanakan pada Hari Rabu tanggal 6 April 2011 pukul 10.00 WIB sampai dengan selesai di Laboratorium Ekologi dan Sumber Daya Alam Hayati Jurusan Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang

3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat-alat
1. Beaker glass 4 buah
2. Thermometer Celcius 4 buah
3. Timer atau Stopwatch 1 buah
4. Water bath 1 buah
5. Akuarium sedang
3.2.2 Bahan-bahan
1. Ikan Mas Komet (Carassius auratus) 8 buah
2. Air secukupnya
3. Es batu
4. Kertas dan alat tulis

3.3 Langkah Kerja
1. Dipanaskan air dalam water bath hingga hangat kukuh.
2. Dimasukkan air kedalam akuarium hingga 1/5 volume akuarium
3. Diukur suhu kontrol awal
4. Dimasukkan ikan yang sebelumnya diletakkan di beaker glas kedalam akuarium.
5. Diamati tingkah laku ikan
6. Dihitung jumlah gerakan operkulum ikan selama 1 menit
7. Diambil ikan dan dimasukkan kembali kedalam beaker glass semula.
8. Ditambahkan air hangat kedalam akuarium sampai suhu air menjadi +5oC dari suhu semula
9. Dimasukkan ikan kedalam akuarium kembali
10. Diamati tingkah laku
11. Dihitung gerakan operkulum ikan selama 1 menit
12. Dilakukan langkah seperti diatas dengan modifikasi perlakuan pada keadaan suhu air yang berbeda yakni +10oC, -5oC, dan -10oC.
13. Dianalisis hasil pengamatan

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1 Hasil Pengamatan
Berikut ini adalah tabel Hasil Pengamatan Pengaruh Suhu Terhadap Gerakan Operkulum Ikan.
No. Suhu Jumlah kali gerakan operkulum dalam 1 menit
                                    ulangan 1 ulangan 2
1 kontrol -10oC 14oC   95            85
2 kontrol -50C 190C     109        100
3 kontrol 240C              102          96
4 kontrol + 50C 310C   140         110
5 kontrol +100C 350C  110         117

Analisis terlampir
Kesimpulan analisis
F hitung (=3,10334477) < F 5% (= 5,19) Berarti Ho diterima “tidak ada pengaruh perbedaan suhu terhadap jumlah gerakan operkulum” Grafik 1 Hasil Pengamatan Pengaruh Suhu Terhadap Gerakan Operkulum. 

4.2 Pembahasan 
       Pada praktikum Pengaruh Lingkungan terhadap Ikan dengan analisis Anova one way telah menunjukkan bahwa kenaikan maupun penurunan suhu air tidak mempengaruhi gerakan operkulum ikan dengan nyata. Pada uji coba yang kami lakukan terbukti bahwa perubahan suhu air memberikan respon yang tidak berarti bagi ikan. Melihat grafik yang ditunjukkan diatas dapat dianalisis bahwa jumlah gerakan operkulum ikan tidak berbanding lurus dengan meningkatnya suhu. 
         Suhu kontrol awal yakni 24oC, didapat jumlah kali gerakan operkulum pada ulangan 1 sebanyak 102 dan ulangan 2 sebanyak 96 kali. Setelah suhu dinaikan sebesar 5oC menjadi 31oC, terjadi peningktan jumlah gerakan operkulum pada operkulum ulangan 1 sebesar 140 kali, dan pada ulangan 2 sebesar 110 kali. jika diamati maka, kedua jenis ikan mempunyai perubahan kenaikan jumlah gerakan operkulum yang berbeda. Artinya, masing-masing jenis ikan mempunyai kisaran toleransi yang berbeda. Ikan Mas secara normal dapat tumbuh dengan baik pada kisaran suhu 24oC -30oC. Perubahan suhu air sebesar 1oC dapat dirasakan oleh Ikan (Campbell. 2002; 294). Perubahan suhu air sebesar 5oC, membuat respon fisiologis dan tingkah laku Ikan mas Komet dapat diamati dengan jelas. 
        Perubahan tersebut teramati pada kegiatan praktikum kali ini berupa peningkatan gerakan operkulum sebesar 38 kali pada ulangan 1 dan 14 kali pada ulangan 2. Peningkatan suhu air sebesar +10oC (35 oC) dari suhu awal rupanya tidak meningkatkan perubahan gerakan operkulum pada ikan dengan nyata. Ulangan 2 menunjukan peningkatan sebesar 7oC. Namun peningkatan gerakan operkulum tidak terjadi pada ulangan 1. Pada ulangan 1, gerakan operkulum justru menurun dengan meningkatkan suhu air. Respon fisilogis dan tingkah laku ikan Mas Komet menunjukkan perbedaan pada perlakuan ini. Sehingga dapat disimpulkan bahwa respon fisiologis dan Tingkah laku Ikan Mas Komet berbeda pada suhu yang relatif tinggi. 
        Kecepatan renang Ikan pada suhu air 35 oC berbeda pada saat suhu air berada pada 24 oC dan 31oC. Pada suhu 35 oC ikan berenang lebih cepat daripada pada suhu sebelumnya. Perubahan kecepatan renang tersebut tidak selalu berbanding lurus dengan perubahan gerakan operkulum, karena peningkatan kecepatan renang tidak menyebabkan peningkatan gerakan operkulum pada ulangan 1. 
        Pada perlakuan penurunan suhu air dari suhu normal sebesar -5oC (19oC) terjadi peningkatan gerakan operkulum Ikan. Hal tersebut ditunjukkan pada jumlah gerakan operkulum ikan sebesar 109 kali pada ulangan 1, dan 100 kali pada ulangan 2. Namun peningkatan gerak operkulum ikan tidak terlalu tinggi. Tidak dapat dibuat kesimpulan pada perlakuan ini, karena seharusnya penurunan suhu justru mempengaruhi penurunan gerakan operkulum ikan, sehingga faktor-faktor lain perlu dikaji. Kami beranggapan bahwa perubahan suhu air dari 35oC menjadi 19oC menyebabkan respon tiba-tiba Ikan Mas komet yang ditunjukkan dengan peningkatan gerakan operkulum. Hal tersebut didukung oleh Campbell (2002; 294) melaui kurva toleransi dan aklimasi Ikan Mas. Bahwa baik suhu optimal maupun suhu kisaran toleransi dapat bergeser sedikit ketika ikan tersebut secara perlahan-lahan diaklimasikan terhadap suhu air 5oC. 
       Perubahan suhu yang besar dan mendadak jelas dengan nyata mempengaruhi adaptasi Ikan, Ikan yang diaklimasikan ke suhu yang dingin akan berenang lebih cepat (Campbell. 2002; 294). Pada perlakuan ini ada korelasi bahwa semakin rendah suhu maka semakin cepat gerakan renang Ikan dan semakin cepat pula gerakan operkulum sebagai respon suhu rendah, dimana korelasi ini tidak kami temui pada perlakuan pada suhu panas. 
         Ikan yang hidup di dalam air yang mempunyai suhu relatif tinggi akan mengalami kenaikan kecepatan respirasi (Kanisius. 1992; 23). Hal tersebut dapat diamati dari perubahan gerakan operculum ikan. Kisaran toleransi suhu antara spesies ikan satu dengan lainnya berbeda, misalnya pada ikan salmonid suhu terendah yang dapat menyebabkan kematian berada tepat diatas titik beku, sedangkan suhu tinggi dapat menyebabkan gangguan fisiologis ikan (Tunas. 2005; 16-17). Sedangkan kisaran toleransi pada Ikan Mas Komet dalam praktikum kali ini sulit ditentukan dengan pasti. Namun dapat diketahui bahwa suhu tinggi menyebabkan gerakan operkulum semakin naik dan suhu rendah menurunkan gerakan operkulum. 
           Gerakan operkulum sebenarnya merupakan indikator laju respirasi Ikan. Sedangkan suhu merupakan faktor pembatas bagi kehidupan ikan. Telah diketahui bahwa suhu tinggi akan menyebabkan berkurangnya gas oksigen terlarut, akibatnya ikan akan mempercepat gerakan operkulum untuk mendapatkan gas oksigen dengan cepat sesuai kebutuhan respirasinya. Menurut Fujaya (1999;106) rendahnya jumlah oksigen dalam air menyebabkan ikan atau hewan air harus memompa sejumlah besar air ke permukaan alat respirasinya untuk mengambil Oksigen. Fujaya menambahkan bahwa tidak hanya volume besar yang dibutuhkan tetapi juga energi pemompaan juga semakin besar. Menurut Nolan dan Collin (1996;4) suhu air dalam akuarium yang tinggi tidak hanya mempengaruhi kelarutan oksigen tetapi juga mepengaruhi laju metabolisme respirasi ikan.   
          Dapat diperkirakan bahwa perubahan suhu lingkungan hidup dapat mempengaruhi proses-proses hayati di dalam tubuh organisme karena proses ini bersifat kimiawi. Juga suhu lingkungan hidup merupakan faktor dalam distribusi organisme, sedangkan sifat fisika lingkungan hidup, misalnya viskositas air mempengaruhi suhu. Viskositas air menurun dengan meningkatnya suhu. Mengingat faktor tersebut suhu merupakan faktor ekologi yang penting (Koesbiono,1980 dalam Mamangkey, Jack j. 2004). 
       Dari hasil analisis grafik diatas diketahui bahwa kedua ikan menunjukkan respon yang berbeda terhadap pengaruh perubahan suhu. Hal ini menunjukkan bahwa kebutuhan Oksigen dan Kisaran toleransi ikan berbeda meski dalam satu spesies. Menurut Fujaya (1999;115) kebutuhan oksigen ikan sangat dipengaruhi umur, aktivitas, serta kondisi perairan. Semakin tua umur ikan, laju metabolisme semakin rendah. Fujaya menambahkan bahwa perbedaan aktivitas juga menyebabkan perbedaan kebutuhan oksigen. Pada praktikum kali ini dapat dirumuskan beberapa kemungkinan yang menyebabkan gerakan operkulum ikan berbeda pada beberapa perlakuan, kemungkinan tersebut antara lain yakni, ikan Mas Komet yang digunakan dalam praktikum kali ini memiliki umur, aktivitas dan ukuran tubuh yang berbeda. 

BAB V PENUTUP 

5.1 Kesimpulan 
Dari hasil praktikum Pengaruh Lingkungan terhadap Ikan dapat disimpulkan sebagai berikut: 
1. Perubahan suhu air tidak berpengaruh nyata pada perubahan gerakan operkulum ikan setelah dilakukan analisis data secara Anova one way. 
2. Suhu merupakan faktor pembatas bagi kehidupan Ikan, suhu yang tinggi menurunkan kelarutan gas oksigen dalam air sedangkan suhu yang rendah menaikkan kelarutan gas oksigen dalam air. 
3. Setiap jenis ikan memiliki kisaran toleransi suhu air yang berbeda. Ikan Mas Komet umumnya dapat bertahan hidup secara normal pada suhu 25oC-30oC. 
4. Gerakan operkulum merupakan indikator laju respirasi dan kadar oksigen terlarut dalam air. Suhu mempengaruhi laju respirasi ikan dan kadar oksigen dalam air. 
5. Kenaikkan suhu akan menurunkan oksigen terlarut sedangkan penurunan suhu meningkatkan oksigen terlarut. Respon ikan terhadap pengaruh suhu dapat diamati dari perubahan fisiologis dan tingkah laku ikan. 
6. Kebutuhan oksigen ikan sangat dipengaruhi oleh umur, ukuran tubuh, dan aktivitas ikan. 

5.2 Saran 
1. Pada praktikum kali ini perlu dipilih ikan-ikan yang mempunyai umur, aktivitas dan ukuran yang sama agar presisi kebutuhan oksigennya seragam. 
2. Hasil yang didapat dalam praktikum kali ini tidak berpengaruh nyata, dan tidak sesuai dengan teori yang berkembang. Perlu ditetapkan metode praktikum agar tujuan praktikum dapat berlangsung dengan baik. 

DAFTAR PUSTAKA 
Campbell. 2004. Biologi, Edisi Kelima-Jilid 3. Jakarta. Penerbit Erlangga 
Darmadi. 2009. Laporan Praktikum Fisiologi Hewan (Operkulum Ikan). Bandung. Universitas Padjajaran. http://dharmadharma.wordpress.com/ diakses pada Jum’at, 8 April 2011 pukul 19.30 WIB 
Djamal, Zoer’aini.1992.Prinsip-Prinsip Ekologi dan Organisasi. Jakarta. Penerbit P.T Bumi Aksara 
Ewusie. 1990. Pengantar Ekologi Tropika. Bandung. Penerbit Institut Teknologi Bandung 
Fujaya, Yushinta. 2004. Fisisologi Ikan. Jakarta. Penerbit P.T Rineka Cipta 
Kanisius. 1992. Polusi Air dan Udara. Yogjakarta. Penerbis Kanisius 
Koesbiono, 1980. Biologi Laut. Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor. 
Mamangkey, Jack j. 2004. Ekologi Ikan Butini (Glossogobius matanensis) di Danau Matano Daerah Malili Sulawesi Selatan. Makalah Falsafah Sains (pps 702) program pascasarjana/s3 Institut Pertanian Bogor November 25, 2004 Nolan, Collin.1996. Ventilation rates for Goldfish Carassius auratus during changes in dissolved oxygen. Professional Papper. University of Nevada Las Vegas. 12-4-1996 
Soetjipta. 1993. Dasar-dasar Ekologi Hewan. Yogjakarta. Penerbit Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Sugiri, 
Nawangsari. 1984. Zoologi Umum. Jakarta. Penerbit Erlangga 
Sukiya. 2005. Biologi Vertebrata. Malang. Penerbit Universitas Negeri Malang 
Tunas, Arthama Wayan. 2005. Patologi Ikan Toloestei. Yogjakarta. Penerbit Universitas Gadjah Mada 

Lampiran 
analisis Anova one way tidak ditampilkan